Along Memanggil Bulan – Agustinus Wahyono Dikemas 19/04/2003 oleh Editor Sepenggal bulan meropong bumi. Dinding gedung-gedung jangkung melukar kelam. Along melangkah cepat ke arah jendela. Anak laki-laki itu mendongakkan kepalanya. Tatapannya mengarah ke luar jendela. Dipandanginya langit melegam. Aku telah mengenal Along sejak anak itu masih bayi. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungnya seorang perempuan bernama Kelly. Dan, kakaknya nomor dua, perempuan, bernama Alan. Ayahnya adalah atasanku di kantor, dan ibunya sering mengajakku ke tempat fitness dan perawatan kecantikan. Orangtua Along sering menitipkan Along dan Alan di rumah mungilku ini. Aku sangat senang diberi kesempatan mengasuh anak-anak itu sembari belajar mengerti serta sabar pada anak-anak. Selain itu, orangtuanya telah memasrahkan banyak hal kepadaku agar aku bisa memberi perhatian dan pelatihan pada anak-anak ini. Beberapa kali Along dan Alan tampil di panggung untuk acara anak-anak. Aku turut membantu kedua anak ini berlatih di rumah. Mereka juga pernah ikut membintangi acara anak-anak di televisi. Bahkan belum lama ini Along baru menerima tawaran menjadi bintang iklan suatu produk. Along dan kakak perempuannya, Alan, sering bermain bahkan selama liburan menginap di rumahku yang mungil. Seperti juga malam ini. Tentu saja aku senang, karena mereka menemani kesendirianku menanti kedatangan pangeranku yang tengah melayari puluhan purnama. “Bulan, kenapa kamu tinggal separuh? Di mana yang separuhnya lagi?” teriak Along mendadak. Sontak aku, Alan, orangtuanya Along menoleh ke jendela, dimana Along tampak sedang berdiri santai dengan kedua tanggannya melipat di bibir jendela. Kemudian anak TK itu melambaikan tangannya ke angkasa. Daun jendela-jendela tetangga terkuak. Tetangga-tetangga seakan hendak menyaksikan ada kejadian apa. Mereka langsung melihat ulah Along. Entah apa yang muncul dalam benak mereka. “Bulan, kamu kok sendirian aja? Sini dong! Lihat tuh, bola basketku kempis!” Aku dan Alan cikikan. Aku ingat, malam-malam sebelumnya pun Along pernah berbicara kepada langit kelam sana. Waktu itu dia mencoba menghitung bintang. Ada satu bintang yang ditemukannya. Lalu muncul satu lagi, satu lagi, satu lagi, dan seterusnya sampai dia tidak berniat lagi menghitungnya. Pernah pula saat menjelang senja, Along tiba-tiba berlari ke jendela, lalu berteriak, “Hei, matahari! Kamu mau ke mana? Jam-jam segini kerjaanmu tidur melulu! Hei! Hei! Jangan tidur dulu!” Ah, Along, Along, untung saja dia nggak mengajak matahari main basket di rumah mungilku ini. Seandainya dia ngajak matahari main basket dan ndilalah si matahari itu mau, wah… jelas ini bisa menimbulkan purbasangka yang tidak-tidak. Mungkin ada yang menuduh aku telah mencuri matahari senja itu. “Bulan, ayo kemari, kita main basket di rumah Tanteku ini, daripada kamu sendirian bingung di situ.” Aku, Alan dan kedua orangtua Along mulai tertawa tertahan. Aku hampir tak tahan untuk tidak tertawa. Ada-ada saja anak ini, pikirku. Kalau tidak meniru gaya Spiderman dengan cara merayap di lantai ruang tamu rumahku, Along akan naik meja pianoku sembari berpolah meniru gaya Ultraman lantas melompat begitu saja. Tak jarang Alan digelutinya, seolah sedang bertempur melawan musuh. Dan bila menjelang tidur, anak ini selalu minta didongengkan, dan ketika bangun tidur dia akan berteriak memanggilku untuk minta dicium. Aku betul-betul terhibur oleh kehadiran anak ini. Ah, mungkin masa kanak-kanak pangeranku dulu seperti si Along ini, yang suka menirukan tokoh-tokoh superhero fiktif. Tiba-tiba Along memutarkan tubuhnya. Dia berjalan mantap ke ruang tamu sambil kedua tangannya berkacak pinggang. Mukanya serius. Kepalanya menunduk. Gaya jalannya petentang-petenteng lagak orang dewasa yang sedang berpikir keras mencari solusi atas suatu masalah. Dia tidak sedikit pun menoleh ke arah kami. Sebentar kemudian dia berbalik lagi menuju jendela. Kembali ke posisi semula di situ. Kami serentak memperhatikan ulah Along. Apakah dia akan menyanyikan lagu “pok ame-ame, belalang kupu-kupu’ favoritnya? Apa hubungannya? “Bulan, aku senang kamu jadi kawanku. Biarpun kamu melotot, kamu tidak pernah menertawakan aku.” Kami makin tak kuasa menahan tawa. Perutku terasa kencang sekali. Agak sakit. Juga terasa hendak kencing. Aaah, saking menahan tawa. “Enggak kayak mereka,” ujar Along seraya tetap menatap angkasa. “Mereka bisanya cuma menertawakan aku!” Aku segera lari ke kamar mandi. Sempat kupikir, kelak Along kubelikan sayap saja supaya bisa ke angkasa dan bercanda dengan bulan. ******* babarsariyogya, 17 april 2003 (thanks, eve. i do love you)